Jaringan Pemburu Liar Bersenjata di Gunung Merbabu Terbongkar, Empat Tersangka Masuk Penuntutan
Jakarta — Aktivitas perburuan liar kembali mencoreng kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merbabu. Aparat Balai Taman Nasional dan Polisi Kehutanan berhasil mengungkap jaringan pemburu liar bersenjata yang telah lama beroperasi di kawasan tersebut. Empat orang kini resmi ditetapkan sebagai tersangka dan berkas perkaranya dinyatakan lengkap.
Tiga Pemburu Ditangkap Bersama Bangkai Kijang
Pada 12 Desember 2024, tiga pelaku berinisial AS (30), SS (44), dan S (61) tertangkap tangan oleh polisi hutan saat berada di zona konservasi Merbabu. Petugas menemukan dua ekor kijang (Muntiacus muntjak) yang sudah mati bersama senjata yang mereka gunakan untuk berburu.
Penyidikan kemudian berkembang hingga berhasil mengamankan JW pada 24 Agustus 2025 di Kabupaten Semarang. JW diduga berperan sebagai pengendali lapangan sekaligus perantara penyedia senjata untuk kelompok pemburu liar ini. Dari tangannya, petugas menemukan satu pucuk senjata jenis PCP kaliber 5,3 mm yang disembunyikan.
Berkas perkara keempat tersangka telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Malang melalui surat P-21 tertanggal 21 Oktober 2025.
Terancam 15 Tahun Penjara
Para tersangka dijerat dengan Pasal 40A ayat (1) huruf d jo Pasal 21 ayat (2) huruf a UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman bagi mereka cukup berat—hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.
Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Anggit Haryoso, menegaskan bahwa satwa seperti kijang dan rusa memiliki peran kunci dalam rantai pakan dan keseimbangan ekosistem.
“Jika satu mata rantai hilang akibat perburuan, stabilitas ekosistem di Merbabu bisa terganggu,” ujarnya, Senin, 10 November 2025.
Asal-usul Senjata Ilegal Diusut
Kepala Balai Gakkum Jabalnusra, Aswin Bangun, memastikan penegakan hukum tidak berhenti di penangkapan saja. Pihaknya kini bekerja sama dengan Polri untuk menelusuri dugaan jaringan peredaran senjata ilegal yang memperkuat praktik perburuan liar di kawasan konservasi.
“Penggunaan senjata api ilegal bukan hanya persoalan konservasi, tetapi juga menyangkut aspek keamanan yang lebih luas,” tegas Aswin.
Ia menambahkan bahwa tindak lanjut hukum harus mencakup pemburu lapangan, penyedia senjata, hingga pihak yang memesan atau menampung satwa hasil buruan.
Harapan Ada Sanksi yang Berikan Efek Jera
Aswin berharap majelis hakim memberikan putusan yang tegas dan proporsional agar para pelaku jera dan kasus serupa tidak terulang di Merbabu. Sementara itu, Balai TN Gunung Merbabu akan memperkuat patroli, memetakan titik rawan masuknya pemburu, dan menggandeng warga sekitar untuk pelaporan dini.
“Ini bentuk komitmen kami menjaga integritas kawasan konservasi serta melindungi kekayaan hayati Indonesia,” ujar Anggit.
Kasus Serupa Juga Terjadi di Taman Nasional Meru Betiri
Upaya perburuan liar tidak hanya terjadi di Merbabu. Pada 11 Juni 2025, petugas gabungan Gakkum Jabalnusra dan Balai TN Meru Betiri menangkap SI, seorang pria yang membawa daging satwa liar dalam kantong plastik.
Penangkapan berawal dari patroli rutin Polhut yang mencurigai seorang pengendara motor di jalur tidak resmi. Setelah digeledah, petugas menemukan sejumlah jerat aktif yang masih terpasang. Dari pemeriksaan awal, diamankan sedikitnya 53 kilogram daging satwa yang diduga kuat hasil perburuan ilegal di kawasan tersebut.
Penulis: Annisa Putri | Editor: Danu Prayoga
